RENUNGAN HARIAN
Bacaan Setahun: Mazmur 17-20
Nas: Engkau menghanyutkan manusia dalam tidurnya, di pagi hari mereka seperti rumput yang akan binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu. (Mazmur 90:5-6)
Hidup Ini Rapuh
Suatu kali, James dari Cupertino, yang kehilangan pacarnya karena meninggal tahun sebelumnya, menulis surel kepada Steve Jobs, teman baiknya. Dia mengucapkan terima kasih terhadap dukungan Jobs atas program donor organ tubuh. Lalu menyebut bahwa teman perempuannya telah meninggal akibat melanoma dua tahun sebelumnya. Jobs, pendiri Apple, menjawab surelnya dengan menyatakan dukacita. Dilanjutkan dengan kata-kata bahwa hidup ini rapuh (life is fragile).
Musa melalui doanya melukiskan bahwa hidup itu seperti rumput yang usianya tidak sampai sehari. Kesementaraan hidup manusia yang sangat singkat ia bandingkan dengan kekekalan Allah. Manusia akan kembali menjadi debu. Jika manusia dapat mencapai 70 tahun, itu bagus. Lebih bagus lagi kalau bisa sampai 80 tahun. Namun, apa yang manusia dapat banggakan kecuali kesukaran dan penderitaan hidupnya? Musa memohon belas kasihan Allah dengan mengaruniakan sukacita. Supaya Allah dimuliakan melalui apa yang telah diperbuat-Nya dalam hidup kita.
Hidup kita di dunia ini sangatlah singkat. Musa pun dalam doanya memohon agar Tuhan mengajarkan umat-Nya untuk menghitung hari sedemikian agar dapat hidup dengan bijaksana. Ketika menggambarkan tentang kasih setia Allah, Daud pun memuji Tuhan dan mengatakan, "Sebab Dia tahu dari apa kita dibentuk, Dia ingat bahwa kita ini debu" (Mzm. 103:14). Meskipun hidup ini singkat, Tuhan membuatnya berharga bagi orang yang takut pada-Nya. Karena itu, kita perlu menjalani hidup dengan rasa syukur dan takut akan Tuhan. --HEM/www.renunganharian.net
* * *
Bacaan Setahun: Mazmur 21-25
Nas: Janganlah mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penebusan. (Efesus 4:30)
Duka Roh Kudus
Ketika seorang anak mengidap penyakit ganas mematikan, bagaimana respons orang tuanya? Berduka, tentu saja. Di satu sisi, mereka merasa geram terhadap penyakit yang merusak kesehatan dan mengancam nyawa anak mereka. Di sisi lain, mereka akan mengerahkan segala upaya untuk mengobati anak itu, berharap ada mukjizat bagi kesembuhannya.
Ketika kita jatuh ke dalam dosa, kita "mendukakan Roh Kudus Allah". Dulu saya membayangkan dukacita Roh Kudus tersebut sebagai suatu bentuk kekecewaan dan kemarahan ilahi. Namun, pengalaman menjadi orang tua membantu saya memandangnya dengan perspektif lain. Dosa itu seperti penyakit ganas mematikan, bahkan lebih keji lagi. Dosa merusak citra Allah dalam diri kita, menjadikan kita kehilangan kemuliaan Allah, dan menyeret kita ke dalam maut.
Dan, Allah adalah Bapa yang penuh kasih, melebihi orang tua mana pun. Allah adalah Pribadi yang paling mengasihi kita dan, karena itu, Dialah yang paling berduka dan paling menderita ketika kita jatuh ke dalam dosa. Dukacita Roh Kudus bukanlah ekspresi murka, melainkan ekspresi kasih-Nya. Allah tidak murka terhadap manusia yang jatuh ke dalam dosa; Allah murka terhadap dosa yang menjatuhkan dan menghancurkan manusia kesayangan-Nya.
Dalam duka-Nya, Roh Kudus tidak akan mendakwa dan menuduh kita. Bukankah Kristus sudah mengampuni kita (ay. 32)? Sebaliknya, Dia akan mengajar kita untuk semakin mengenal Kristus sehingga kita dapat belajar untuk hidup dalam kebenaran (ay. 20-24). Dukacita Roh Kudus, dengan demikian, membuka jalan bagi kita untuk bertobat dan membebaskan diri dari belenggu dosa. --ARS/www.renunganharian.net
* * *
Bacaan Setahun: Mazmur 26-31
Nas: Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Namun, orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan diselamatkan. (Matius 10:22)
Menanggung Risiko
Seorang pelajar dari keluarga sederhana memiliki mimpi untuk studi lanjut. Ia tekun belajar demi meraih prestasi terbaik, supaya memperoleh beasiswa. Malang, prestasinya menimbulkan dampak tak terduga. Ia difitnah menyontek dan menyuap guru. Dibenci dan dijauhi banyak teman karena iri. Berulang kali dirundung baik fisik maupun verbal. Meski demikian, ia abaikan semua itu dan fokus pada perjuangannya demi masa depan.
Sebagaimana pelajar dalam ilustrasi di atas, orang percaya diperhadapkan pada banyak tantangan dalam menjaga iman. Bahkan penderitaan orang percaya sudah dinubuatkan oleh Tuhan Yesus yang Ia sendiri juga mengalaminya. Parahnya lagi, orang percaya digambarkan sebagai domba yang lemah tidak berdaya, tetapi harus menghadapi serangan si jahat yang kuat, yang digambarkan seperti serigala. Betapa tidak sebanding! Mengapa Tuhan Yang Maha Kuasa mengizinkan ini terjadi? Tidakkah Dia mampu menolong umat-Nya supaya tak perlu menghadapi penderitaan itu?
Hikmat dan kemuliaan dunia bertolak belakang dengan hikmat dan kemuliaan surgawi. Karena itu keduanya senantiasa berlawanan. Hal ini menjadikan orang percaya pasti menanggung risiko atas imannya kepada Tuhan Yesus. Meski demikian, bukankah iman kita mengarah kepada masa depan yang penuh harapan dan bernilai kekal? Karena itu tak perlu merisaukan risiko yang mengadang. Tetap fokus pada tujuan karena Tuhan Yesus sendiri yang mendorong kita untuk terus maju dan memastikan akan upah besar bagi setiap orang yang bertahan hingga kesudahannya. --EBL/www.renunganharian.net
* * *
RENUNGAN KAMIS
Bacaan: HABAKUK 3
Bacaan Setahun: Mazmur 32-35
Nas: Aku akan bersukacita di dalam Tuhan, bersorak-sorai di dalam Allah Penyelamatku. (Habakuk 3:18)
Babak Pertama Habakuk
Babak akhir dari kitab Habakuk memuat pernyataan iman bahwa sekalipun pohon ara tidak berbunga, pokok anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dalam kurungan, dan tidak ada lembu dalam kandang, ia akan tetap bersukacita di dalam Tuhan dan bersorak-sorai bagi Allah (ay. 17-18). Pernyataan tersebut kemudian digubah menjadi sebuah nyanyian yang indah dan membangkitkan semangat. Namun, coba tengok babak pertamanya, di situ termuat keluh kesah. Tak dapat tidak sang nabi menunjukkan kejengkelan atas diamnya Tuhan terhadap ketidakadilan. Ia berseru, "Berapa lama lagi, ya Tuhan?" Disusul, "Mengapa, Tuhan?" (Hab. 1:2-3).
Perubahan terjadi sesudah Habakuk datang menghampiri Tuhan. Sikap hatinya berubah saat ia tengah mempercakapkan perkaranya di hadapan Allah. Tersadar siapa dirinya sampai berani mengajukan protes pada perilaku Tuhan. Terpikir mungkinkah Sang Maha Adil bertindak tidak adil? Maka kemudian, keluh kesah itu hilang. Gantinya ia memuji kesempurnaan pekerjaan Tuhan (ay. 2). Padanya ada lagi ketabahan untuk menanti waktu pertolongan Tuhan (ay. 16b). Puncaknya ia mencetuskan pernyataan iman.
Kita berharap dapat tampil sebagai Habakuk pada babak akhir. Namun, dapat terjadi saat ini kita justru serupa sosoknya pada babak pertama. Kita tertekan oleh beratnya pergumulan sehingga berkeluh kesah. Solusinya, mari datang menghampiri Tuhan dan menyatakan segala kesesakan di dalam doa. Sesudahnya, takkan sikap hati ini tetap sama. Seketika kita tersadar akan kuasa dan kasih Tuhan. Terpikir Dia mampu dan mau menolong kita. Iman akan diteguhkan, lalu mulut memuji-muji nama Tuhan. --LIN/www.renunganharian.net
* * *
RENUNGAN JUMAT
Bacaan: LUKAS 18:9-14
Bacaan Setahun: Mazmur 36-39
Nas: "Orang Farisi itu berdiri dan berdoa tentang dirinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini." (Lukas 18:11)
Memuji Diri
Mengerjakan perbuatan baik tanpa didasari motivasi yang benar bisa menghasilkan keburukan. Bahkan jika tidak hati-hati, motivasi yang tadinya baik pun bisa melenceng. Kebaikan itu justru bisa menjadi alat kesombongan, menjadi senjata untuk membenarkan diri, bahkan merendahkan orang lain.
Orang Farisi dalam perumpamaan Tuhan Yesus ini datang ke Bait Allah untuk berdoa. Niatnya baik. Tujuannya baik. Namun, semua berubah ketika ia melihat seorang pemungut cukai yang juga datang untuk berdoa. Ia menjadi sombong karena merasa diri lebih baik. Pemungut cukai adalah pengumpul pajak dari masyarakat Yahudi untuk diserahkan kepada pemerintah Roma yang menjajah mereka. Cara kerja mereka sangat kejam dan tidak adil sehingga dibenci oleh rakyat dan dianggap pendosa. Melihat sang pemungut cukai, dalam doanya si orang Farisi justru memuji-muji dirinya dengan segala kebaikan yang dilakukannya. Dirinya menjadi pusat perhatian serta penyembahannya di hadapan Tuhan. Dan Allah memandangnya rendah serta bersalah di hadapan-Nya.
Banyak godaan yang bisa mencemarkan niat serta perbuatan baik kita. Karenanya, kita hendaknya selalu berhati-hati. Menjaga motivasi agar tetap murni tidaklah mudah. Kita harus senantiasa menyelaraskan langkah seturut firman Allah. Rela dikoreksi oleh-Nya. Bersedia ditegur-Nya. Serta menyadari siapa kita di hadapan Tuhan. Bahwa sebaik apa pun kita, kita adalah orang berdosa yang memerlukan anugerah-Nya. Kesadaran inilah yang hendaknya kita pegang selalu sehingga kita tidak terjebak memuji-muji diri, melainkan memuji Allah yang senantiasa menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita. --HT/www.renunganharian.net
* * *
RENUNGAN SABTU
Bacaan: 1 KORINTUS 13
Bacaan Setahun: Mazmur 40-45
Nas: Ketika aku kanak-kanak, aku berbicara seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. (1 Korintus 13:11)
Berubah Menjadi Dewasa
Kamu harus berubah. Tiga kata singkat ini sepertinya mudah ketika disampaikan bagi orang lain, tetapi belum tentu dapat diterima dengan baik ketika orang lain berkata kepada kita. "Saya itu orangnya ya begini, tidak usah disuruh berubah!" ucap sebagian orang ketika ada yang menasihati agar dirinya berubah. Saya pun menyadari akan hal ini, di mana saya terkadang bergumul untuk sekadar menerima nasihat atau masukan yang pada intinya mengharapkan adanya perubahan dari diri saya.
Menjalani hidup pada usia 40-an tahun memberi saya cukup waktu untuk melihat adanya orang yang berusia dewasa, tetapi masih berperilaku seperti anak-anak, yang mudah marah, cepat mengambek, iri hati, dan nadanya meninggi ketika diberi masukan. Mereka seolah-olah lupa bahwa seiring berjalannya waktu, setiap orang perlu beradaptasi dan berubah mengikuti pertambahan usianya, di mana secara karakter dan mental seharusnya lebih dewasa daripada lima atau sepuluh tahun sebelumnya. Dalam hal merespons kebutuhan untuk berubah, memang banyaknya usia tak menjamin adanya kedewasaan untuk dapat memahami pentingnya perubahan itu.
Memang tidak mudah untuk berubah. Tak jarang orang perlu dipaksa oleh keadaan sebelum mulai berubah, meskipun tampaknya sedikit terlambat. Tak hanya secara jasmani atau dalam hal karakter, perubahan ke arah kedewasaan rohani juga perlu didorong oleh semangat yang sama, yakni kesadaran untuk berubah demi menjadi pribadi yang lebih baik. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda merespons perubahan dengan positif? --GHJ/www.renunganharian.net
* * *
MOTTO JPA : " KELUARGA JPA - TUHAN BEKERJA - JPA BERDAMPAK "
Komunitas Warga GPdI JPA secara online! Anda bebas membicarakan semua tentang GPdI JPA, memberikan komentar, kesaksian, informasi, ataupun kiritikan untuk GPdI JPA agar lebih baik!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar